Selasa, 30 November 2010

GE-ER

Maaf, tak kubermaksud membuatmu ge-er. Hanya sebuah ketidaksengajaan saja.
Tak mau aku membuatmu melayang, serasa orang penting.

Taukah kamu, hidupku indah tanpamu. Seindah aku melangkah di atas awan, berlari-lari kesana-kemari. Bersama angin menyapa alam. Tak ingin ku bersamamu selalu.

Hidupku telah berbeda, tak ingin aku selalu bersamamu. Mengikuti jejak langkahmu yang tak kuinginkan, tak kusukai.

Gak Ada Judul

Ternyata masih saja aku tidak bisa melupakan Sabda. Padahal sudah memasuki bulan ketiga. Untuk hari ini, aku sempatkan untuk mengunjungi makam Sabda. Hari Sabtu yang cukup cerah, tak kurasakan panas matahri begitu menyengat. Teduh dengan semilir angin yang sering sekali menerpai diriku.

“Kau Mentari?” tegur gadis berjilbab hitam. Dia menyalami aku yang kemudian memperkenalkan diri.
“Aku Khatulistiwa.”
“Mentari.” balasku.
“Panggil saja aku, Khat.” Lanjutnya. Dia mengikuti aku berjongkok dihadapan pusara Sabda.
Hatiku bertanya-tanya. Gadis ini tahu namaku dari mana? Aku tidak pernah mengenal sebelumnya. Bahkan ini pertama kalinya aku bertemu dengan dia.

Selesai berdoa dan menaburkan bunga. Aku segera mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan disekitar makam Sabda.
“Aku adiknya Kak Sabda.” ucap gadis itu. Aku diam, lalu kumenoleh ke arah dirinya.
“Kamu adiknya Sabda?” aku mencoba meyakinkan, Sabda tidak pernah cerita kepadaku tentang Khat. Khat hanya tersenyum, balutan baju gamis berwarna kuning gading menampakkan wajahnya bercahaya.
“Kak Sabda banyak bercerita tentang kamu”
“Lihatlah “ disodorkannya selembar foto ukuran 3R, yang diambil dari dalam tasnya.
“Ini..” foto itu mengagetkan diriku.
“Foto aku waktu kecil.” ucapku meyakinkan.
“Dari mana kamu dapatkan foto ini, Khat?” aku penasaran sekali.
“Kau pasti mengenal Mas Bima? Bimasakti Pratama.” Tegasnya.
“Bima!” seruku. Teman kecilku yang selalu berteriak bila aku sedang memanjat pohon, karena Bima takut ketinggian maka tidak bisa melakukannya seperti aku.
“Kak Sabda dan Mas Bima bersahabat, saat mereka sama-sama kuliah di Australia.” Khatulistiwa memberikan penjelasan.
“Sabda dan Bima bersahabat?”, lirihku dalam hati. Tiba-tiba muncul kecurigaan pada diriku ini, “Ada apa sebenarnya?”.

Khat, mengajakku ke rumahnya. Sepi, rumah dengan bangunan tua yang sangat asri dengan tanaman-tanaman hijau memenuhi pekarangan depan rumahnya. Khat akhirnya bercerita, sedikit aku ketahui dari Khat.
“Berbagai cara Mas Bima lakukan untuk kembali akrab denganmmu, Kak Mentari.” Khat membawaku ke dalam kamar Sabda.
“Tapi kau begitu dingin terhadapnya.” Kulihat pada meja sudut di kamar Sabda, foto-foto yang terpajang adalah foto Sabda bersama Bima. Ada beberapa diantaranya dengan latar belakang kampus tempat mereka kuliah.
“Memang Bima telah berusaha mendekatiku lagi. Bahkan sempat menemuiku di Bali selama satu bulan, beberapa bulan yang lalu.” ujarku pelan.
“Kenapa kau seperti itu kepada Mas Bima, kakakku?” tanya Khat geram, terasa sekali rasa kecewa dari nada bicaranya. Aku tidak menjawabnya. Aku duduk di pinggir tempat tidurnya Sabda. Kurasakan tubuhku begitu hangat.
“Sabda.” desisku dalam hati. “Kamu di sini?” kembali hatiku bertanya. Selalu kalimat tanya itu terucap dalam hatiku, bila tubuhku terasa hangat.
“Kak Mentari!” setengah teriak Khat memanggilku.
Aku berlari keluar dari kamar Sabda.“Maaf Khat. Aku harus pulang.” Khat menghela napas.
“Hati-hati Kak Mentari” ucapnya melepas kepergianku.

Sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku kacau, dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa kecilku bersama Bimasakti Pratama.
“Bima…Bimasakti. Ngapain sih kamu disitu aja. Ikut aku, ayo!” ajakku. Selalu menjadikan air sabun menjadi gelembung-gelembung yang beterbangan di udara, yang aku lakukan di taman bermain.
“Apa kamu tidak capek Mentari. Lari kesana-kemari. Lihatlah awan-awan itu” Mukanya Bima memerah menahan kesal, kesal karena aku terus saja mengelilingi taman bermain sambil memainkan gelembung sabun. Sesekali gelembung sabun tersebut kuarahkan kepadanya.

Senin, 29 November 2010

Taman Bermain

Hamparan luas sebidang tanah yang sangat asri dengan ditanami rumput-rumput hijau dengan rapi berseru kesana-kemari, bergoyang mengikuti irama hembusan angin yang berhempus pelan, menggesekkan dedaunan bagai dawai biola menerpa. Beraneka ragam berwarna-warni tanaman bunga berkawan dengan rerumputan sangat indah menghiasi taman bermain. Jungkat-jungkit, ayunan, dan beberapa permainan yang dapat digunakan ada disana. Itulah taman bermain yang menjadi saksi bisu kebersamaanku dengan Bimasakti di masa itu.

Kebiasaan yang aku lakukan bila pagi hari tiba, sesuatu yang dinantikan seorang gadis tomboy dengan rambut panjangnya selalu dibiarkan terurai. Menanti sinar mentari menyambut datangnya pagi. Selalu dengan manis aku duduk di ayunan menikmati hangatnya mentari pagi, setiap paginya disempatkan selama lima belas menit sebelum berangkat ke sekolah. Menurut bundaku, konon sinar mentari pagi sangat baik untuk kesehatan.

Lain halnya anak lelaki kecil yang selalu bersama si gadis tomboy, baginya menyaksikan awan-awan yang berarak melintasi langit biru dengan indahnya merupakan sesuatu yang menyenangkan.

Terkadang awan-awan tersebut membentuk menyerupai hal-hal yang nyata, kadang seperti pesawat yang selalu terbang melayang membawa penumpangnya. Bersusah payah menerangkan akan awan-awan tersebut dikala si gadis tomboy asyik bermain gelembung sabun sambil berlari-lari mengelilingi taman bermain.

Setia menemani aku di pagi hari Bima lakukan untuk menikmati hangatnya mentari pagi. Di sore hari, akulah yang menemaninya menyaksikan awan-awan yang berarak di langit luas hingga menjelang malam.